Mengapa alam semesta
terjelaskan secara matematika?
(Why can the world be described using mathematical laws?)
Tentunya kita mafhum pertanyaan tersebut sangatlah terbuka
akan pelbagai kemungkinan pendekatan. Namun demikian
setidaknya kita dapat sepakat mengenai hal ini, yakni bahwa
pertanyaan di atas sungguh bernuansa filosofis, dan karenanya
belum ada seorang fisikawan pun yang sanggup menjawabnya
secara definitif. Namun berikut inilah sekelumit pendapat, yang
tentunya belumlah merupakan suatu jawab akhir.
Setidaknya terdapat dua kategori jawaban yang bisa diajukan,
meski tidak tepat sama dengan kategorisasi konvensional yakni
fisika klasik dan fisika kuantum. Pertama yang disebut dengan
‘aliran klasik’,1 yakni mereka yang berpendapat bahwa alam
semesta bisa dicerna secara matematis karena hal tersebut
telah merupakan sifat ontologisnya. Para filsuf Yunani kuno
mungkin berpendapat bahwa hal ini dikarenakan sang Logos
(logos) itu sendiri bersifat akal (logis). Kiranya inilah yang
dimaksudkan oleh Pythagoras ketika berfatwa:’The whole thing
is a number”.
Beberapa varian dari pendekatan tersebut kiranya bisa dicatat –
meski tentunya tidak lepas dari bias persepsi pribadi penulis–,
antara lain:
a. Alam semesta sebagai bilangan besar (large number
hypothesis). Salah satu pelopor dari pendekatan ini
adalah Sir Arthur Eddington, yang pada jamannya
1 Lihat G.J. Chaitin, “Randomness and mathematical proof,” Scientific American 232,
No. 5 (May 1975) 47-52; juga G.J. Chaitin, “A century of controversy over the
foundations of mathematics,” Complexity 5, No. 5 (May/June 2000) 12-21.
2
disebut-sebut sebagai salah satu dari hanya tiga orang di
muka bumi yang memahami teori relativitas umum (GTR)
Einstein.2 Kelanjutan dari hipotesis ini adalah
menghubungkan teori kosmologi dengan number theory,
yang konon merupakan ‘the queen of mathematics’.
Karena tokoh-tokoh fisika juga kerap kali adalah tokohtokoh
matematika, sehingga tidak heran kalau mereka
juga menaruh minat pada hubungan di antara number
theory dan fisika (misalnya Riemann).3
b. Teori alam semesta sebagai holografi (holographic
universe).4
c. Teori alam semesta sebagai nothingness. Karena lawan
kata dari infinity adalah ketiadaan, maka beberapa
fisikawan mengusulkan bahwa sesungguhnya alam
semesta bisa dimulai dari ketiadaan (nothingness).5
Dalam hal ini, bukan lagi ruang hampa yang dianggap
berfluktuasi (quantum vacuum), melainkan bahwa alam
semesta sesungguhnya identik dengan nullity.6
d. Goyaks, yang oleh beberapa fisikawan dianggap
merupakan esensi dasar dari geometri dan partikel,
sehingga merupakan awal mula dari teori relativitas,
gauge theory, quantum physics dll.7
Sementara itu, aliran kedua cenderung berpendapat bahwa
sang pemikirlah yang membuat alam semesta tersebut tampak
2 Tidak pernah dijelaskan secara eksplisit siapakah gerangan orang ketiga yang
memahami GTR tersebut. Namun mengingat Einstein pernah menuliskan surat pujian
mengenainya, mungkin W. Pauli-lah orangnya. Alternatif lain yang cukup layak
mungkin adalah Poincare.
3 ArXiv:hep-th/0203086, arXiv:hep-th/0004152, arXiv:math-ph/0109006,
arXiv:math.GM/0111262; juga Physical Review E, Vol. 48 No. 4 (1993).
4 ArXiv:gr-qc/0111034
5 ArXiv:astro-ph/9703195
6 Secara sederhana, rumus dasar astronomi mengenai reduced mass m-1=m1
-1 + m2
-1
sesungguhnya berimplikasi bahwa reduced mass m akan menjadi takhingga jika m1
dan m2 tepat sama besar namun berlawanan tanda. Meski konsep negative mass
tersebut tidak diijinkan dalam teori fisika pada umumnya terutama QFT,
sesungguhnya dalam beberapa teori terkini hal ini dimungkinkan (lihat F. DeAquino,
“The gravitational mass at the superconducting state,” arXiv:physics/0201508 , 2002).
7 arXiv:hep-th/9510110
3
logis-matematis. Tentunya dalam membangun argumentasi
logis tersebut, sang pembangun teori dibimbing oleh intuisinya
atau bahkan pengandaian metafisis. Dalam hal ini suatu teori
mirip dengan karya musik hasil gubahan komposer besar.
Namun juga muncul kemungkinan bahwa sang komposer tadi
karena begitu terpesona akan intuisi yang terlintas di
benaknya, menjadi selektif dalam memilih pendekatan logismatematis
yang paling relevan.
Jika alam semesta boleh dianggap sebagai suatu komputer
besar, maka kira-kira pandangan ini berpendapat bahwa
hukum-hukum fisika lebih mirip suatu algoritma untuk
mengerjakan sesuatu dalam komputer tersebut. Jika ternyata
suatu algoritma ternyata tidak berhasil (dalam menjelaskan
suatu gejala alam), boleh dicoba algoritma lain. Dengan
demikian senantiasa terbuka kemungkinan untuk menemukan
algoritma yang berbeda untuk menjelaskan pelbagai gejala
alam (khususnya pada skala kosmik). Dengan kata lain, adalah
mungkin menurut aliran ini bahwa terdapat sejumlah n hukum
fisika untuk menjelaskan suatu gejala fisika.
Sampai di sini kita dapat bertanya: jika demikian halnya, maka
bukankah itu berarti hukum-hukum fisika tersebut hanya
menjelaskan gejala (fenomena) dan bukannya ‘the reality’
(noumena)? Atau dalam bahasa algoritma tadi, kita baru
membahas algoritma untuk pemrograman, namun bukan aturan
logika untuk ‘membuat’ sang Komputer besar tadi. Itupun
dengan suatu pengandaian besar, yakni JIKA alam semesta
memang merupakan suatu komputer besar.
Pendapat saya hingga saat ini adalah, analogi alam semesta
sebagai komputer besar itupun hanya merupakan salah satu
kemungkinan jawaban yang bisa diajukan untuk mendekati
deskripsi mengenai alam semesta. Agaknya manusia cenderung
menyamakan alam semesta dengan benda terumit apapun yang
mereka kenal pada suatu kurun waktu. Jika pada jaman
purbakala orang mengenal alam sebagai sesuatu yang tidak
tertaklukkan, maka seperti itulah orang menganggap alam
semesta yang dipersonifikasikan dalam bentuk dewa-dewa:
dewa api, air, dst. Pada jaman Newton dan sesudahnya benda
4
tercanggih yang dikenal orang adalah mesin (uap) dan arloji,
sehingga orang menganggap alam semesta sebagai suatu arloji
besar (Descartes). Lalu orang kagum dengan komputer, maka
diciptakanlah analogi alam semesta sebagai komputer besar
(Wheeler). Maka pertanyaan yang penting di sini kiranya
adalah: mungkinkah manusia menemukan benda yang lebih
rumit daripada komputer?
Kembali pada pertanyaan semula, yakni apakah terdapat
korespondensi eksak (Exact mapping) antara alamsemesta dan
logika-matematika (Wittgenstein), pendapat saya sementara ini
adalah ‘mostly yes’. Tapi mengingat Godel telah menunjukkan
bahwa sistem logika tertutup senantiasa tidak sempurna pada
dirinya sendiri, saya cenderung mengatakan bahwa terdapat
sistem kebenaran lain di luar deskripsi logika-matematika.
Mungkin inilah yang disebut Kant sebagai ‘nous’ (realitas
terdalam yang tidak terdeskripsikan), yang mungkin agak
paralel dengan konsep ‘tao’-nya Lao Tse. Maka tidak heran
bahwa F. Capra memberi judul bukunya ‘Tao of physics’, lalu
fisikawan lain menulis mengenai ‘Speakable and Unspeakable of
quantum physics.’
Sebagai contoh mengenai logika-matematika yang dapat
menjadi begitu absurd dalam dirinya sendiri adalah himpunan
takhingga Cantor (transfinite set). Karena kita dapat membuat
plot dari tan(x) yang bernilai 0 untuk x=0 hingga tan(x)=µ untuk
x=p/2, maka berarti kita dapat mengatakan bahwa terdapat
pemetaan eksak dari suatu ruas kecil menjadi deretan titik
takhingga! Tidak heran jika definisi mengenai ‘infinity’
berpeluang membuat terobosan dalam fisika,8 misalnya entropi
takhingga dalam blackbody radiation mendorong Max Planck
merumuskan teori kuantanya (yang di kemudian hari dikenal
sebagai ‘fisika modern’). Mungkinkah terobosan berikutnya
dimulai ketika kita menanyakan benarkah deskripsi mengenai
‘titik’ (point charge) dalam teori Maxwell, khususnya dalam
8 Lihat misalnya arXiv:math-ph/9909033, yang membahas mengenai peran ‘infinity’
dalam fisika teori dan juga transfinite number dalam matematika.
5
ruangwaktu fractal?9 Bagaimana kalau titik itu berupa ‘neutron
star’ dalam kosmologi, masihkah teori Maxwell tersebut
berlaku?
Mengenai hubungan antara matematika dan deskripsi mengenai
alamsemesta tersebut, beberapa ahli telah mengajukan
pertanyaan serupa, misalnya P. Davies ‘Why is the world so
comprehensible?’ dalam W. Zurek (1990) “Entropy, Complexity
and the physics of information” dari Santa Fe Institute yang
menurut hemat saya merupakan salah satu bendel karya ilmiah
terbaik mengenai hubungan antara fisika kuantum dan
komputasi yang saya ketahui. Salah satu implikasinya dewasa
ini adalah riset mengenai quantum algorithm dan quantum
computation.10 Untuk artikel yang lebih mutakhir bisa
diperoleh pada http://www.arxiv.org.
Pandangan mengenai alam semesta sebagai komputer besar
inipun boleh dipilah menjadi beberapa varian yang lebih
khusus, misalnya:
a. Alam semesta sebagai jaringan acak (random network).11
b. Alam semesta sebagai graph theory.12
c. Alam semesta sebagai cellular automata, misalnya teori
S. Wolfram13 atau Byalinycki-Birula.14
Implikasi
Salah satu pertanyaan yang menurut saya sangat menarik
adalah, mungkinkah pelbagai praanggapan mengenai sifat dasar
kosmologi tersebut difalsifikasi? Program riset Hilbert untuk
9 Lihat misalnya L. Nottale, “Theory of electron in scale relativity,” in
Electromagnetic Phenomena, special issue dedicated to the 75th anniversary of the
discovery of Dirac equation (Oct 2002); published at
http://www.daec.obspm.fr/users/nottale. Juga Nottale, L., “Scale relativity and gauge
invariance,” Chaos, Solitons and Fractals, 12, (Jan 2001) 1577. As published at
http://www.daec.obspm.fr/users/nottale.
10 Int. J. Mod. Physics C, Vol. 9, No. 8 (1998).
11arXiv:hep-th/9806135, arXiv:gr-qc/9912059
12 arXiv:cond-mat/0204491
13 Lihat misalnya arXiv:nlin.CG/0205068
14 ArXiv:hep-th/9304070
6
menemukan cara metodis untuk menyeleksi hukum fisika telah
dipatahkan oleh Godel. Dengan perkataan lain, metode
falsifikasi ala Popper mungkin memadai untuk teori ilmiah yang
bersifat praktis, namun tidak banyak manfaatnya dalam
memilih teori kosmologi manakah yang paling penad. Untuk
memecahkan persoalan ontologis dari teori kosmologi tersebut,
agaknya diperlukan suatu konjectur tambahan sehingga
menjadi restriksi guna memilih teori kosmologi manakah yang
paling masuk akal dan terkonfirmasi oleh data empirik.
Sebagai contoh, menurut hemat saya setidaknya ada dua
restriksi yang bisa diajukan dalam rangka ini, yakni teori
elektromagnetika Maxwell dan teori geometri fraktal
Mandelbrot.
a. Elektromagnetika Maxwell. Meski teori ini juga tidak
luput dari kritik karena dianggap telah direduksi dari
bentuk aslinya oleh Heavyside, setidaknya teori ini
merupakan salah satu teori yang paling dikonfirmasi
hingga saat ini. Karena itu bisa diajukan suatu restriksi
yaitu bahwa sebarang teori kosmologi mesti dapat
dikembalikan ke teori Maxwell sebagai kasus khusus.
Sebagai contoh, jika alam semesta dianggap sebagai
komputer besar (Wheeler), dan segala sesuatu bisa
ditransformasikan dalam bentuk ‘bit’ (binary digit),
maka logikanya kita mestinya dapat mengukur adanya
arus listrik yang terinduksi oleh arus informasi. Dengan
kata lain, dapatkah teori Maxwell digeneralisasi untuk
mencakup medan informasi, atau dalam bentuk diagram:
Medan
magnet à
Medan
elektrik à
Medan
entropy à
Medan
informasi
b. Geometri fraktal Mandelbrot.15 Jika teori ini dianggap
sebagai salah satu restriksi untuk teori kosmologi, maka
teori fisika akhir (TOE) mestinya berlaku umum untuk
15 Physics-Uspekhi 38 (6) 609-623, 1995.
7
sebarang skala (scale-invariant).16 Demikianlah jika
acuan digunakan, maka teori Maxwell mestinya juga
berlaku untuk neutron star atau boson star.17
Demikian kira-kira sekelumit gagasan, meski mungkin saja sama
sekali tidak ada yang baru di sini. Untuk review ringkas
mengenai gagasan-gagasan kontemporer dalam kosmologi
beserta kelebihan dan kelemahan masing-masing, suatu artikel
yang sangat baik adalah arXiv:astro-ph/9503074.
Bagaimana pendapat Anda?
11 Juni 2003. Direvisi 21 Juni 2003.
V Christianto
Komentar dan saran silakan dialamatkan ke: vxianto@yahoo.com
16 Lihat misalnya E.I. Guendelman, “Scale invariance, mass and cosmology,”
arXiv:gr-qc/9901067 v1 (Jan 1999) revised 2002; E.I. Guendelman, “Scale
invariance, inflation and the present vacuum energy of the universe,” arXiv:grqc/
0004011 v1 (Apr 2000). Juga L. Nottale, “Scale Relativity and Fractal Space-
Time: Application to Quantum Physics, Cosmology and Chaotic systems,” Chaos,
Solitons and Fractals, 7, (1996) 877-938; http://www.daec.obspm.fr/users/nottale.
See particularly p. 50-53.
17 Lihat misalnya arXiv:astro-ph/0301015; arXiv:astro-ph/0301578; arXiv:hepph/
0204103; arXiv:gr-qc/0207073; arXiv:astro-ph/0207346; arXiv:gr-qc/0002034;
arXiv:gr-qc/0012031; arXiv:astro-ph/0101267; arXiv:nucl-th/9605039. Bandingkan
dengan DeAquino (2002).